Indonesia kembali lagi gempar karena adanya isu penyadapan yang dilakukan oleh Amerika Serikat, setelah mantan kontraktor Agensi Keamanan Nasional (NSA) Amerika Serikat, Edward Snowden mengungkapkan fakta yang mengejutkan. Dia mengutip laporan media Australia, smh.com.au, dari bocoran Snowden terungkap, fasilitas penyadapan AS sebanyak 90 titik yang tersebar di seluruh dunia.
Untuk wilayah, Asia Tenggara, berbagai alat penyadapan AS diduga terpasang di Kedutaan Besar di Jakarta, Kuala Lumpur, Bangkok, Phnom Penh dan Yangon. Pada 13 Agustus 2010, sebuah peta tidak menunjukkan fasilitas penyadapan itu terpasang di Australia, Selandia Baru, Inggris, Jepang dan Singapura, yang semuanya diketahui sebagai sekutu terdekat AS.
Sejumlah pihak mengecam penyadapan yang dilakukan Australia dan Amerika ini. Bahkan, Jerman lewat Kanselirnya, Angela Merkel yang juga terkena sadap langsung bereaksi. Dia berjanji akan membawa kasus ini ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Ada beberapa motif di balik penyadapan Amerika Serikat terhadap Indonesia yang saya kutip dari http://www.rmol.co. Motif pertama bisa terkait dengan pelaksanaan Pemilu Tahun 2014.
Demikin disampaikan Pengamat Intelijen dari Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (Lesperssi), Rizal Darma Putra kepada wartawan di Cikini, Jakarta, Sabtu (9/11)
"Yang banyak diinginkan oleh Amerika Serikat, informasi adalah satu soal Pemilu 2014," ujar Rizal
Selain masalah Pemilu, Rizal mengungkapkan Amerika Serikat ingin mengetahui sikap Indonesia terkait ketegangan di Laut China Selatan yang melibatkan beberapa negara seperti Vietnam, Filipina, China dan AS.
Selain soal Pemilu 2014 dan posisi Indonesia dalam melihat konflik di Laut China Selatan, Rizal juga menilai AS ingin tahu sikap Indonesia terhadap kebijakan investasi, kebijakan perdagangan dan lainnya.
Lalu bagaimana dengan sikap Presiden kita??
Sejauh ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) belum juga bersikap tentang penyadapan ini. Seolah-olah, SBY lebih reaktif tentang persoalan pribadi di partai ketimbang peristiwa penyadapan yang mengganggu harkat dan martabat bangsa.
Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Komisi I DPR dari Fraksi Demokrat Ramadhan Pohan mengatakan, Presiden SBY juga tidak ada tawar menawar soal kedaulatan bangsa. Namun sikap SBY, kata dia, sudah diwakilkan oleh Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa yang juga telah memanggil para dubes negara bersangkutan.
"Sikapnya (SBY) sama, tidak ada tawar menawar terhadap kedaulatan bangsa. Soal martabat dan kedaulatan bangsa, beliau (SBY) tidak ada tawar menawar," jelas Ramadhan saat menghadiri sebuah diskusi di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (9/11).
Dia berpandangan, jika sikap protes Menlu Marty Natalegawa untuk mengevaluasi kerja sama dengan Amerika dan Australia sudah cukup keras. Hal ini, lanjut dia, juga atas instruksi dari Presiden SBY.
Sementara itu, Staf Khusus Presiden Bidang Luar Negeri, Teuku Faizasyah menyatakan jika protes keras yang dilakukan Jerman lewat Angela Merkel wajar. Sebab, Angela secara pribadi langsung disadap oleh Amerika.
Karena itu dia berpandangan, jika protes SBY sudah diwakilkan oleh pernyataan Menlu Marty Natalegawa. Protes Menlu, lanjut dia, juga dilakukan berdasarkan pertimbangan dari SBY.
"Kita melihat beberapa kepala negara beraksi tetapi dalam konteks bahwa alat komunikasi mereka langsung disadap. Disadap 35 kepala pemerintahan yang termasuk di dalamnya Angela Merkel," imbuhnya.
"Apa yang sudah dilakukan pak menlu mengeluarkan statement tetap melaporkan dan mendapatkan arahan beliau (SBY), berangkat dari pertimbangan presiden. Dalam merespon malah ini respon kita terukur," pungkasnya.
Menyikapi hal tersebut maka sangat wajar jika sebagian rakyat curiga bahwa Presiden SBY "terlibat" dalam aksi spionase tersebut. Sebagaimana dikatakan beberapa narasumber dalam acara talkshow di TVOne hari Kamis malam (7/11) yang membahas isu penyadapan Amerika dan Australia di Indonesia. Jika Presiden Indonesia "diam" atas kasus penyadapan itu, maka hanya ada 2 kemungkinan pada diri presiden: kharakter yang lemah, atau terlibat dalam penyadapan tersebut alias menjadi pengkhianat bangsa untuk melayani kepentingan Amerika dan Australia.
Saya sebagai rakyat biasa hanya berharap bahwa Indonesia mampu lebih baik lagi. Jangan terlalu tergantung dengan Amerika. Sudah saatnya kita berdiri dengan kaki sendiri. Maksimalkan potensi Sumber Daya Manusia dan Sumber Daya Alam yang ada untuk Indonesia yang lebih baik.